Sejarah Singkat DSA I
Teks kanon romawi merupakan satu-satunya teks Doa Syukur Agung sejak abad ke-3 dan teks ini bertahan hingga sekarang. Inilah teks Doa yang paling tua dalam tradisi Gereja Katolik Ritus Romawi. Berbicara tentang DSA I ini, kita seolah-olah berbicara tentang sebuah misteri. Disebut misteri karena teks ini telah melewati abad demi abad, peradaban demi peradaban. Meskipun demikian dia tetap eksis dan bertahan. Misteri, karena teks ini amat sukar dipahami; tidak diketahui penulis dan asal-usulnya. Misteri, karena kendadi tidak diketahui asal usulnya, umat beriman tetap memakai dan mempertahankan DSA I hingga saat ini. Tradisi gereja yang tetap mempertahankan doa ini hingga sekarang adalah juga suatu misteri. Menyadari perjalanan sejarah DSA ini, kita pantas menaruh hormat dan memelihara sebagai warisan iman.
Kesan
pertama yang muncul saat kita membaca DSA I adalah berbelit-belit, panjang sehingga sulit
mengikuti alurnya. Banyak umat yang tidak menghendaki DSA ini. Bukan hanya umat
awam, bahkan para imam pun tampaknya kurang menyukai DSA ini. Alasan utama
hampir sama: teksnya terlalu panjang dan berbelit-belit. Kendati demikian,
gereja tetap mempertahankannya. Bahkan pada perayaan tertentu Gereja menggariskan
agar para imam memakai dan memelihara DSA I.
Pertanyaan
adalah apa alasan gereja mempertahankan teks ini, padahal bagi kebanyakan umat
teks ini sangat tidak praktis dan susah mengikuti. Ada beberapa alasan, mengapa
doa ini tetap dipertahankan.
Pertama
adalah alasan sejarah dan kesaksian iman. Dalam
sejarah perayaan ekaristi, DSA I
merupakan satu-satunya teks doa yang paling lengkap dan yang tetap
bertahan sampai hari ini. Teks ini telah dipakai
dan dipelihara umat dari abad ke abad. Kendati terkesan berbelit-belit namun di
dalam teks ini tercantum ajaran serta tradisi gereja yang luhur. Sehingga teks
ini tidak sekadar doa tetapi juga merupakan warisan iman gereja yang dituliskan
dalam doa.
Kedua
adalah originalitas dan immutabile
(tidak berubah). Teks ini hampir tidak mengalami perubahan mulai abad
ke-4 sampai sekarang (abad ke-21). Teks asli tidak berubah, hanya pada masa Paus Gregorius Agung
(644), teks ini ditambah atau diselipkan doa-doa tertentu. Sesudah itu praktisnya teks itu tinggal tetap dan tidak
berubah sampai sekarang. Itu berarti ketika kita membaca teks
ini kita seolah dibawa kembali kepada masa perkembangan awal kekristenan.
Ketiga
adalah penyebaran dan universalitas. Sejak abad ke-7, teks itu dikenal luas di Benua Eropa: teks ini menyebar ke Inggris abad ke-8, dipakai di daerah Perancis abad ke-9
dan ke-10, dipakai di negara-negara keltik dan abad ke-11 sampai di
Spanyol.
Keempat
adalah kekayaan bahasa dan ekspresinya. Bagi umat yang tidak mengenal bahasa
latin tidak dapat melihat kekayaan bahasa doa ini. Namun paling tidak kita
dapat membaca terjemahan. Bahasa dan konstruksi DSA I sungguh berbeda dari teks
doa syukur agung lainnya. Di dalam
teks itu ditemukan
ungkapan-ungkapan atau istilah latin klasik yang mengungkapkan dengan tepat iman
kekristenan, misalnya: Deigenetrix (Bunda Allah), Oblatio, Clementissime
dan lain sebagainya. Istilah-istilah liturgi yang sudah akrab di kalangan umat
hingga kini masih dipertahankan; anamnesis, doksologi, epiclesis dan
lain sebagainya.
Baik dari segi bahasa maupun dari strukturnya, DSA ini sama sekali tidak dapat dibandingan dengan doa syukur agung lainnya.
Kemungkinan besar teks aslinya
adalah bahasa Yunani, kemudian berkembang di dunia kekaisaran romawi
dan diterjemahkan ke bahasa Latin. Sama
seperti ciri khas bahasa latin, DSA memiliki rumusan kalimat yang singkat padat dan jelas
namun menunjukkan realitas dan kebenaran secara tepat. Doa ini
tidak memiliki bahasa sentimental
dan emosional. Oleh
karena itu doa ini
terasa kurang menyentuh imaginasi, perasaan dan emosi. Itu sebabanya bagi sebagian besar umat, rumusan DSA ini terkesan kaku.
Kelima,
Isi. Setiap Kanon memiliki struktur dan susunannya. Struktur tersebut seringkali menunjukkan logika berpikir dan kebenaran iman yang hendak disampaikan. Demikian juga DSA
I. Doa ini terdiri dari beberapa bait yang dapat dianalogikan dengan
susunan mozaik.
Untuk menikmati keindahan dalam mozaik, kita tidak boleh hanya melihat satu
keeping saja, karena kepingan yang
satu berkaitan
dengan kepingan yang lain. Karena
itu kita mesti memandang kepingan-kepigan mozaik secara
menyeluruh sehingga keindahannya dapat kita lihat. Demikianlah kiranya cara kita
mendalami DSA I. Setiap bait
mempunyai kepingan kebenaran iman
yang membentuk satu gambar yang indah tentang Gereja. Kita tidak boleh hanya “memandang” satu bait saja secara terpisah. Sebaliknya
kita harus memahami DSA I secara
menyeluruh, dari bait pertama hingga bait
terakhir. Di dalam setiap bait ditemukan “kepingan” ajaran dan tradisi gereja:
tentang Maria, hirarki, devosi para kudus, tradisi, intensi misa, doktrin dan
sebagainya.
Asal
usul DSA ini mendapat perhatian para ahli; ada yang mengatakan bahwa doa ini
sudah ada pada abad ke-3. Ada yang
mengatakan bahwa penulis doa
ini adalah Uskup Gelasius
(492-496), karena paus ini pernah menyusun buku Misa Stowe
yang di dalamnya terdapat judul kecil “Canon dominicus papae gilasii”
artinya kanon Paus Gelasius untuk perjamuan Tuhan.
Fakta yang tidak dapat disangkal adalah bahwa doa ini
ditemukan dalam karya Santo Ambrosius, Uskup Milano – Italia Utara, “De sacramentis” yang ditulis
tahun 390.
Ini mengugurakan pendapat yang mengatakan bahwa DSA
ini disusun oleh Paus Gelasius. Bila Ambrosius menulis bukunya tahun
390, itu berarti
teks asli DSA I sudah ada sebelum
tahun 390.
Dari mana asal teks kanon romawi ini? Kita
tidak tahu asal-usulnya. Kita
ketahui bahwa sampai abad ke empat kekristenan berkembang di Timur: Yerusalem, Alexadria dan Antiokia. Sesudah itu kekristenan berkembang
di Barat;
Roma, Celtik dan Gallia.
Masing-masing daerah atau kota memiliki cara merayakan liturgi yang
berbeda, termasuk merayakan ekaristi.
Bila
awal perkembangan kekristenan, kemungkinan besar teks asli DSA I berasal dari
Ritus Timur, kemudian dibawa ke Barat, oleh Ambrosius.
Doa Sykur Agung I sama seperti DSA lainnya dapat
dipergunakan kapan saja. Namun sangat diajurkan DSA I dipakai pada:
1. Hari-hari yang memiliki communicantes
khusus (TPE: Dalam persatuan dengan gereja …). Dapat dipakai pada Hari
Raya Natal dan selama oktaf natal, Hari Raya Kenaikan Tuhan dan Minggu
Pentakosta.
2. Misa
yang memiliki hanc igitur khusus (TPE: Sudilah menerima …). Dapat
dipakai Mulai dari Malam Paska sampai Minggu Paska II.
Lanjut Part II: Klik di sini
No comments:
Post a Comment