--> Doa Syukur Agung I (Part 1) | LITURGI GEREJA

Sunday, March 6, 2022

Doa Syukur Agung I (Part 1)

| Sunday, March 6, 2022

 

Sejarah Singkat DSA I


Teks kanon romawi merupakan satu-satunya teks Doa Syukur Agung sejak abad ke-3 dan teks ini bertahan hingga sekarang. Inilah teks Doa yang paling tua dalam tradisi Gereja Katolik Ritus Romawi. Berbicara tentang DSA I ini, kita seolah-olah berbicara tentang sebuah misteri. Disebut misteri karena teks ini telah melewati abad demi abad, peradaban demi peradaban. Meskipun demikian dia tetap eksis dan bertahan. Misteri, karena teks ini amat sukar dipahami; tidak diketahui penulis dan asal-usulnya. Misteri, karena kendadi tidak diketahui asal usulnya, umat beriman tetap memakai dan mempertahankan DSA I hingga saat ini. Tradisi gereja yang tetap mempertahankan doa ini hingga sekarang adalah juga suatu misteri. Menyadari perjalanan sejarah DSA ini, kita pantas menaruh hormat dan memelihara sebagai warisan iman.



Kesan pertama yang muncul saat kita membaca DSA I adalah  berbelit-belit, panjang sehingga sulit mengikuti alurnya. Banyak umat yang tidak menghendaki DSA ini. Bukan hanya umat awam, bahkan para imam pun tampaknya kurang menyukai DSA ini. Alasan utama hampir sama: teksnya terlalu panjang dan berbelit-belit. Kendati demikian, gereja tetap mempertahankannya. Bahkan pada perayaan tertentu Gereja menggariskan agar para imam memakai dan memelihara DSA I.

Pertanyaan adalah apa alasan gereja mempertahankan teks ini, padahal bagi kebanyakan umat teks ini sangat tidak praktis dan susah mengikuti. Ada beberapa alasan, mengapa doa ini tetap dipertahankan.

Pertama adalah alasan sejarah dan kesaksian iman. Dalam sejarah perayaan ekaristi, DSA I merupakan satu-satunya teks doa yang paling lengkap dan yang tetap bertahan sampai hari ini. Teks ini telah dipakai dan dipelihara umat dari abad ke abad. Kendati terkesan berbelit-belit namun di dalam teks ini tercantum ajaran serta tradisi gereja yang luhur. Sehingga teks ini tidak sekadar doa tetapi juga merupakan warisan iman gereja yang dituliskan dalam doa.

Kedua adalah originalitas dan immutabile (tidak berubah). Teks ini hampir tidak mengalami perubahan mulai abad ke-4 sampai sekarang (abad ke-21). Teks asli tidak berubah, hanya pada masa Paus Gregorius Agung (644), teks ini ditambah atau diselipkan doa-doa tertentu. Sesudah itu praktisnya teks itu tinggal tetap dan tidak berubah sampai sekarang. Itu berarti ketika kita membaca teks ini kita seolah dibawa kembali kepada masa perkembangan awal kekristenan.

Ketiga adalah penyebaran dan universalitas. Sejak abad ke-7, teks itu dikenal luas di Benua Eropa: teks ini menyebar ke Inggris abad ke-8, dipakai di daerah Perancis abad ke-9 dan ke-10, dipakai di negara-negara keltik dan abad ke-11 sampai di Spanyol.

Keempat adalah kekayaan bahasa dan ekspresinya. Bagi umat yang tidak mengenal bahasa latin tidak dapat melihat kekayaan bahasa doa ini. Namun paling tidak kita dapat membaca terjemahan. Bahasa dan konstruksi DSA I sungguh berbeda dari teks doa syukur agung lainnya. Di dalam teks itu ditemukan ungkapan-ungkapan atau istilah latin klasik yang mengungkapkan dengan tepat iman kekristenan, misalnya: Deigenetrix (Bunda Allah), Oblatio, Clementissime dan lain sebagainya. Istilah-istilah liturgi yang sudah akrab di kalangan umat hingga kini masih dipertahankan; anamnesis, doksologi, epiclesis dan lain sebagainya.

Baik dari segi bahasa maupun dari strukturnya, DSA ini sama sekali tidak dapat dibandingan dengan doa syukur agung lainnya. Kemungkinan besar teks aslinya adalah bahasa Yunani, kemudian berkembang di dunia kekaisaran romawi dan diterjemahkan ke bahasa Latin. Sama seperti ciri khas bahasa latin, DSA memiliki rumusan kalimat yang singkat padat dan jelas namun menunjukkan realitas dan kebenaran secara tepat. Doa ini  tidak memiliki bahasa sentimental dan emosional. Oleh karena itu doa ini terasa kurang menyentuh imaginasi, perasaan dan emosi. Itu sebabanya bagi sebagian besar umat, rumusan DSA ini terkesan kaku.

Kelima, Isi. Setiap Kanon memiliki struktur dan susunannya. Struktur tersebut seringkali menunjukkan logika berpikir dan kebenaran iman yang hendak disampaikan. Demikian juga DSA I. Doa ini terdiri dari beberapa bait yang dapat dianalogikan dengan susunan mozaik. Untuk menikmati keindahan dalam mozaik, kita tidak boleh hanya melihat satu keeping saja, karena kepingan yang satu berkaitan dengan kepingan yang lain. Karena itu kita mesti memandang kepingan-kepigan mozaik secara menyeluruh sehingga keindahannya dapat kita lihat. Demikianlah kiranya cara kita mendalami DSA I. Setiap bait mempunyai kepingan kebenaran iman yang membentuk satu gambar yang indah tentang Gereja. Kita tidak boleh hanya “memandang” satu bait saja secara terpisah. Sebaliknya kita harus memahami DSA I secara menyeluruh, dari bait pertama hingga bait terakhir. Di dalam setiap bait ditemukan “kepingan” ajaran dan tradisi gereja: tentang Maria, hirarki, devosi para kudus, tradisi, intensi misa, doktrin dan sebagainya.

Asal usul DSA ini mendapat perhatian para ahli; ada yang mengatakan bahwa doa ini sudah ada pada abad ke-3. Ada yang mengatakan bahwa penulis doa ini adalah Uskup Gelasius (492-496), karena paus ini pernah menyusun buku Misa Stowe yang di dalamnya terdapat judul kecil “Canon dominicus papae gilasii artinya kanon Paus Gelasius untuk perjamuan Tuhan.

Fakta yang tidak dapat disangkal adalah bahwa doa ini ditemukan dalam karya Santo Ambrosius, Uskup Milano – Italia Utara,De sacramentis yang ditulis tahun 390. Ini mengugurakan pendapat yang mengatakan bahwa DSA ini disusun oleh Paus Gelasius. Bila Ambrosius menulis bukunya tahun 390, itu berarti teks asli DSA I sudah ada sebelum tahun 390.

Dari mana asal teks kanon romawi ini? Kita tidak tahu asal-usulnya. Kita ketahui bahwa sampai abad ke empat kekristenan berkembang di Timur: Yerusalem, Alexadria dan Antiokia. Sesudah itu kekristenan berkembang di Barat; Roma, Celtik dan Gallia. Masing-masing daerah atau kota memiliki cara merayakan liturgi yang berbeda, termasuk merayakan ekaristi. Bila awal perkembangan kekristenan, kemungkinan besar teks asli DSA I berasal dari Ritus Timur, kemudian dibawa ke Barat, oleh Ambrosius.

            Doa Sykur Agung I sama seperti DSA lainnya dapat dipergunakan kapan saja. Namun sangat diajurkan DSA I dipakai pada:

1.      Hari-hari yang memiliki communicantes khusus (TPE: Dalam persatuan dengan gereja …). Dapat dipakai pada Hari Raya Natal dan selama oktaf natal, Hari Raya Kenaikan Tuhan dan Minggu Pentakosta.

2.     Misa yang memiliki hanc igitur khusus (TPE: Sudilah menerima …). Dapat dipakai Mulai dari Malam Paska sampai Minggu Paska II.

Lanjut Part II: Klik di sini




Related Posts

No comments:

Post a Comment