Pedoman Umum Misale Romawi Nomor 45, mengatur:
Beberapa kali dalam Misa
hendaknya diadakan saat hening, Saat hening juga merupakan bagian perayaan,
tetapi arti dan maksudnya berbeda-beda menurut makna bagian yang bersangkutan.
Sebelum pernyataan tobat umat mawas diri, dan sesudah ajakan untuk doa pembuka
umat berdoa dalam hati. Sesudah bacaan dan homili umat merenungkan sebentar
amanat yang telah didengar. Sesudah komuni umat memuji Tuhan dan berdoa dalam
hati. Bahkan sebelum perayaan Ekaristi, dianjurkan agar keheningan dilaksanakan
dalam gereja, di sakristi, dan di area sekitar gereja, sehingga seluruh umat
dapat menyiapkan diri untuk melaksana-kan ibadat dengan cara yang khidmat dan
tepat.
Pedoman Umum Nomor Misale Romawi no 78 menjelaskan: “Doa Syukur Agung menuntut agar semua mendengarkannya dengan hormat dan dalam keheningan.”
Pedoman Umum Nomor Misale Romawi no 84 kemudian menggarisbawahi pentingnya memelihara keheningan sebagai sarana persiapan yang baik untuk penerimaan Komuni Kudus: “Imam mempersiapkan dirinya dengan doa, katanya dengan tenang, agar ia dapat menerima Tubuh dan Darah Kristus dengan baik. Umat beriman melakukan hal yang sama, berdoa dalam hati.” Akhirnya, sikap yang sama diusulkan untuk periode ucapan syukur setelah Komuni: ketika pembagian Komuni selesai, sesuai dengan keadaan, imam dan umat beriman meluangkan waktu untuk berdoa secara pribadi. Jika diinginkan, mazmur atau kidung pujian atau himne lainnya juga dapat dinyanyikan oleh seluruh jemaat. (no.88)
Dalam beberapa alinea lain dari Pedoman Umum Misale Romawi ini, arahan serupa
tentang keheningan diulangi, sehingga keheningan merupakan bagian integral dari
perayaan liturgi.
Hamba Allah Santo Yohanes Paulus II telah mengakui bahwa,
dalam praktek yang sebenarnya, arahan Konsili Vatikan II tentang keheningan
suci, arahan yang kemudian dimasukkan dalam Pedoman Umum, tidak selalu dipatuhi
dengan setia. Dia menulis: “Satu aspek yang harus kita bina dalam komunitas
kita dengan komitmen yang lebih besar adalah pengalaman keheningan. . . .
Liturgi, dengan momen dan simbol yang berbeda, tidak dapat mengabaikan keheningan.”
(Spiritus et Sponsa, no 13)
Di sini kita dapat mengingat teks dari Teolog dan juga Kardinal saat itu, Joseph Ratzinger (saat ini Paus Emeritus Benediktus VI):
Kita semakin menyadari dengan
jelas bahwa keheningan adalah bagian dari liturgi. Kita menanggapi dengan
bernyanyi dan berdoa, kepada Tuhan yang berbicara kepada kita, tetapi misteri
yang lebih besar, melampaui semua kata, memanggil kita untuk diam. Tentu saja, diam
harus menjadi keheningan dengan isi, bukan hanya ketiadaan ucapan dan tindakan.
Kita harus mengharapkan liturgi memberi kita ketenangan positif yang akan
memulihkan kita.
Akibatnya, saat-saat hening yang ada dalam liturgi adalah
sangat penting. Saat-saat hening ini merupakan bagian integral dari seni
merayakan para pelayan liturgi seperti halnya partisipasi aktif umat beriman.
Keheningan dalam liturgi adalah saat di mana seseorang mendengarkan dengan
perhatian yang lebih besar kepada suara Tuhan dan menginternalisasi sabda-Nya,
sehingga menghasilkan buah kesucian dalam kehidupan sehari-hari.
No comments:
Post a Comment