--> Doa Syukur Agung I (Part II) | LITURGI GEREJA

Sunday, March 6, 2022

Doa Syukur Agung I (Part II)

| Sunday, March 6, 2022

 Bait pertama - Doa Permohonan Kepada Bapa


“Ya Bapa yang mahamurah, dengan rendah hati kami mohon demi Yesus Kristus, Putra-Mu, Tuhan kami: Sudilah menerima dan memberkati persembahan ini”

DSA I diawali dengan kalimat “Ya Bapa yang mahamurah”. Ini merupakan doa permohonan kepada Bapa demi kepentingan Gereja. Imam memohon agar Allah Bapa sudi menerima (accepta) dan memberkati (benedicas) persembahan (dona).

Allah Bapa adalah sumber segala kebaikan dan rahmat. Oleh karena itu dalam doa ini dan dalam doa-doa resmi liturgi katolik, permohonan senantiasa ditujukan kepada Allah Bapa.




Dalam DSA ini terdapat dua kata sifat yang dikenakan kepada Allah Bapa yakni: Bapa yang kudus (sancta pater) dan Maha murah (clementissime). Kata clementissime dapat juga berarti murah hati, maha belas kasih, maharahim, penuh belas kasih (Inggris: mercifull). Kata clementissime dan sancta pater ini hendak menggambarkan sifat dan karakter ilahi Allah; Mahakuasa, Mahamurah, Mahakudus sekaligus mahaberbelas kasih.

Sifat Allah di atas berbanding terbalik dengan sifat manusia; lemah, tidak berdaya, penuh dosa dan rendah. Sadar akan sifat tersebut, umat harus memohon dengan rendah hati kepada Bapa. Karena itu kalimat selanjutnya menunjukkan kerendahan hati: “kami memohon, meminta/mengemis” (rogamus et petimus) dengan rendah hati (supplices).

Dalam doa ini umat, yang diwakili oleh imam, memohon kepada Bapa untuk berkenan “menerima dan memberkati pemberian, persembahan. Kurban persembahan itu bukanlah kurban manusiawi dan bukan kurban bakaran. Kurban itu sifatnya kudus (sancta) dan tidak bernoda (illibata). Kurban persembahan itu tidak lain adalah Yesus Kristus; kini tersaji dalam rupa roti dan anggur.

“Sudilah menerima dan memberkati persembahan ini, kurban kudus yang tak bernoda ini”

Memberkati (Latin: bene + dicere artinya mengucapkan yang baik). Namun dalam DSA ini memberkati berarti menunjukkan kemahakuasaan dan penerimaan Allah terhadap persembahan yang ada di atas altar. Jadi umat memohon kepada Allah untuk menunjukkan kemahakuasaan-Nya dengan menerima dan memberkati kurban.

Perlu disadari bahwa sesungguhnya tidak ada kurban persembahan manusia yang layak bagi Allah. Namun dengan memberkati persembahan itu, Allah membuat persembahan manusia menjadi layak di hadapan-Nya. Bahkan kurban persembahan itu menjadi kurban yang tidak bercacat dan tidak bernoda. Artinya dalam doa ini kita memohon kepada Allah aga Ia membuat layak dan menyempurnakan kurban di hadapan-Nya. Dalam artian ini kurban tidak hanya menunjuk pada kurban persembahan di altar, tetapi juga persembahan, hidup dan keberadaan umat Allah.

Dalam doa ini kurban secara menunjuk pada roti dan anggur; disebut dengan berbagai istilah yakni: pemberian (dona), persembahan (munera), kurban kudus atau kurban yang tidak bercacat (sancta sacrificia illibata). Kata-kata itu adalah sinonim dan menunjuk pada kurban yang sama. Ragam kata sifat ini menunjukkan kualitas kurban yang kini, dalam perayaan ekaristi, berada di atas Altar; kurban itu bersifat integral, sempurna, lengkap dan dalam kondisi yang tidak kurang suatu apa pun dan tidak bercacat. Itulah hakekat asli kurban yang kini akan dipersembahkan kepada Allah.

DSA I memakai sinonim. Barangkali ini yang membuat doa ini terkesan bertele-tele. Bahasa manusia mempunyai keterbatasan dalam untuk melukiskan pengalaman religius. Untuk itu perlu keterangan yang atas pengalaman tersebut dengan mencari kata-kata sinonim. Demikianlah yang terjadi dengan DSA I. Penulis tidak mampu menejelaskan hakekat terdalam kurban persembahan itu dengan satu kata saja, maka dicari kata-kata yang sinonim atau kata-kata keterangan. Padahal ungkapan itu melukiskan sifat atau keadaan kurban yang sama.

DSA I mengajak umat beriman untuk bersikap takzim, hormat sambil, menundukkan kepala dan bersujud di depan kurban kudus itu. Dalam merayakan kurban kudus ini umat beriman diajak untuk merenungkan kenyataan dirinya yang berdosa, tidak layak dan rapuh. Manusia tidak memiliki apa pun untuk dibanggakan di hadapan kurban kudus. Manusia harus bersujud dengan seluruh jiwa raga, takjub, gemetar, seraya memohon belaskasihnya. Demikianlah kiranya sikap umat dalam liturgi dan perayaan ekaristi.

Ide kurban persembahan dapat kita temukan dalam kisah Kain dan Habel. Dikisahkan bahwa Allah menerima persembahan Habel tetapi menolak persembahan Kain. Di sini terdapat  ide kesatuan antara kurban dan orang yang mempersembahkan kurban tersebut. Orang yang menyampaikan persembahan memiliki hubungan yang tidak terpisahkan dari persembahan itu sendiri; menerima persembahan berarti menerima orang yang mempersembahkan, menolak persembahan berarti menolak orang. Itu berarti orang dan persembahan adalah satu kesatuan.

Para nabi juga pernah  mengecam imam dan bangsa Israel, karena mereka melihat bahwa praktek ritus kurban persembahan terdapat keterpecahan antara bangsa Israel dengan kurban persembahan. Kurban adalah kudus dan tak bercela, sementara sikap dan perilaku moral Israel sebagai bangsa tidak sesuai dengan kurban persembahan. Tidak ada integritas antara kurban dengan sikap bangas Isreal; para pemimpin tidak menegakkan keadilan, mereka merampas hak orang miskin dan janda. Singkatnya sikap dan perilaku pemimpin dan bangsa Israel menyimpang dari hukum-hukum YHWH.

Dalam Pernjanjian Lama, sering sikap Allah digambarkan secara manusiawi, misalnya menolak persembahan, tidak menyukai, cemburu dan lain sebagainya. Maksudnya manusia menjaga ketulusan dan kesesuaian antara sisi lahiriah dan batiniah. Artinya persembahan lahiriah (kurban bakaran, hal-hal material) tidak dapat mengganti sikap batin manusia yang congkak. Persembahana tidak boleh dianggap atau dipakai untuk menghapus sikap manusia yang jahat. Umat beriman tidak cukup rajin beribadat atau rajin berdoa, mereka harus memiliki karakter dan tindakan sesuai dengan nilai-nilai kekristenan. Dengan kata lain beribadat, devosi pribadi yang saleh harus tampak dalam sikap hidup yang baik dan tindakan yang benar; terpuji, bersaudara, solider, rendah hati, pemaaf dan lain sebagainya.

Persembahan manusia adalah simbol dirinya di hadapan Allah. Namun persembahan tidak dapat menggantikan sikap moral manusia atau menghapus dosa-dosanya. Menghaturkan persembahan merupakan panggilan setiap umat beriman untuk hidup dan bertindak sesuai dengan sifat persembahan itu; kudus dan tak bercela di hadapan Allah. Umat beriman harus menyesuaikan sikapnya dengan status kurban.

Menyesuaikan sikap dengan sifat kurban adalah hal yang mendasar dalam merayakan Ekaristi. Hal itu merupakan hakikat panggilan orang beriman. Setiap umat mesti menyesuaikan diri dengan sifat kurban sejati yang telah mempesembahkan diri di salib. Inilah mesti disadari dan dihayati oleh umat beriman.

Kurban persembahan tentulah tidak sama dengan praktek agama tradisonal. Dalam praktek agama tradisional atau magis pusat perhatian adalah manusia. Dengan kurban dan sajian manusia dapat mempengaruhi sikap yang ilahi. Bahkan manusia dapat mengatur dan memaksa ilah-ilah untuk menlaksanakan kehendak manusia. Artinya manusia adalah pusat komando. Jadi dalam praktek itu, manusia menempati posisi ilah-ilah, sedangkan ilah-ilah berfungsi sebagai suruhan.

Dalam kurban Ekaristi Allah berdaulat dan  absolut. Keputusan-Nya tidak tergantung dari materi kurban persembahan; Dia bebas menerima atau menolak, kurban persembahan tidak mengubah pendirian atau ketetapan Allah. Jadi ketika imam memohon agar Allah menerima persembahan, di sana tidak ada nada paksaan. Permohonan ini merupakan prokalamasi solem, pengakuan agung dan sikap takzim manusia di hadapan Allah. Dalam kemahakuasan-Nya yang absolut, Allah bebas menerima atau menolak persembahan manusia. Sebaliknya manusia tergantung pada belas kasih-Nya. Maka umat beriman mesti mempersembahkan seluruh hidupnya kepada kemahakuasaan dan belas kasih Allah.

Related Posts

No comments:

Post a Comment