Bait pertama - Doa Permohonan Kepada Bapa
“Ya Bapa yang mahamurah,
dengan rendah hati kami mohon demi Yesus Kristus, Putra-Mu, Tuhan kami: Sudilah
menerima dan memberkati persembahan ini”
DSA
I diawali dengan kalimat “Ya Bapa yang mahamurah”. Ini merupakan doa permohonan kepada Bapa demi kepentingan Gereja. Imam memohon agar Allah Bapa sudi menerima (accepta) dan memberkati (benedicas) persembahan (dona).
Allah Bapa adalah sumber segala kebaikan
dan rahmat. Oleh karena itu dalam doa ini dan dalam doa-doa resmi liturgi
katolik, permohonan senantiasa ditujukan kepada Allah Bapa.
Dalam DSA ini terdapat dua kata sifat yang
dikenakan kepada Allah Bapa yakni: Bapa yang kudus (sancta pater) dan Maha murah (clementissime). Kata clementissime dapat juga berarti murah hati, maha belas kasih, maharahim, penuh belas kasih (Inggris: mercifull). Kata clementissime dan
sancta pater ini hendak
menggambarkan sifat dan karakter ilahi Allah; Mahakuasa, Mahamurah, Mahakudus sekaligus mahaberbelas kasih.
Sifat Allah di atas berbanding terbalik
dengan sifat manusia; lemah, tidak berdaya, penuh dosa dan rendah. Sadar akan
sifat
tersebut, umat harus memohon
dengan rendah hati kepada Bapa. Karena itu kalimat selanjutnya menunjukkan
kerendahan hati: “kami memohon,
meminta/mengemis” (rogamus et petimus) dengan rendah hati (supplices).
Dalam doa ini umat, yang diwakili oleh imam, memohon kepada Bapa untuk
berkenan “menerima dan memberkati pemberian, persembahan. Kurban persembahan itu bukanlah kurban manusiawi dan bukan kurban bakaran. Kurban itu sifatnya kudus (sancta)
dan tidak bernoda (illibata).
Kurban persembahan itu tidak lain adalah Yesus Kristus; kini tersaji dalam rupa
roti dan anggur.
“Sudilah menerima dan
memberkati persembahan
ini, kurban kudus yang tak bernoda ini”
Memberkati
(Latin: bene + dicere artinya mengucapkan yang baik). Namun dalam
DSA ini memberkati
berarti menunjukkan
kemahakuasaan dan penerimaan Allah terhadap persembahan yang ada di atas altar. Jadi
umat memohon kepada Allah untuk
menunjukkan kemahakuasaan-Nya dengan menerima dan memberkati kurban.
Perlu
disadari bahwa sesungguhnya
tidak ada kurban persembahan manusia yang layak bagi Allah. Namun dengan memberkati persembahan itu, Allah membuat persembahan manusia menjadi layak di hadapan-Nya. Bahkan kurban persembahan itu menjadi kurban yang tidak bercacat
dan tidak bernoda.
Artinya dalam doa ini kita memohon kepada Allah aga Ia membuat layak dan menyempurnakan kurban di hadapan-Nya. Dalam artian ini kurban
tidak hanya menunjuk pada kurban persembahan di altar, tetapi juga persembahan,
hidup dan keberadaan umat Allah.
Dalam
doa ini kurban secara menunjuk pada roti dan anggur; disebut dengan berbagai
istilah yakni: pemberian (dona),
persembahan (munera), kurban kudus atau kurban yang tidak bercacat (sancta
sacrificia illibata). Kata-kata itu adalah sinonim dan
menunjuk pada kurban yang sama. Ragam
kata sifat ini menunjukkan kualitas kurban yang kini, dalam perayaan
ekaristi, berada di atas Altar;
kurban itu
bersifat integral, sempurna,
lengkap dan dalam kondisi yang tidak kurang suatu apa
pun dan tidak bercacat. Itulah hakekat asli
kurban yang kini akan
dipersembahkan kepada Allah.
DSA
I memakai sinonim.
Barangkali ini yang membuat doa ini terkesan bertele-tele. Bahasa manusia mempunyai keterbatasan
dalam untuk melukiskan pengalaman religius. Untuk itu perlu keterangan yang
atas pengalaman tersebut dengan mencari kata-kata sinonim. Demikianlah yang
terjadi dengan DSA I. Penulis tidak mampu menejelaskan hakekat terdalam kurban
persembahan itu dengan satu kata saja, maka dicari kata-kata yang sinonim atau
kata-kata keterangan. Padahal ungkapan itu melukiskan sifat atau keadaan kurban yang sama.
DSA
I mengajak umat beriman untuk bersikap
takzim, hormat sambil, menundukkan kepala dan bersujud di
depan kurban kudus itu. Dalam merayakan kurban kudus ini umat beriman diajak
untuk merenungkan kenyataan dirinya
yang berdosa, tidak layak dan rapuh. Manusia tidak memiliki apa pun
untuk dibanggakan
di hadapan kurban kudus. Manusia harus bersujud dengan seluruh jiwa raga, takjub,
gemetar, seraya memohon belaskasihnya. Demikianlah kiranya sikap umat dalam
liturgi dan
perayaan ekaristi.
Ide
kurban persembahan dapat
kita temukan dalam kisah Kain dan
Habel. Dikisahkan bahwa Allah menerima persembahan Habel tetapi menolak persembahan Kain. Di
sini terdapat ide kesatuan antara kurban
dan orang yang mempersembahkan kurban tersebut. Orang yang menyampaikan persembahan memiliki hubungan yang
tidak terpisahkan dari persembahan itu sendiri; menerima persembahan berarti menerima orang yang mempersembahkan, menolak persembahan berarti menolak orang.
Itu berarti orang dan persembahan
adalah satu kesatuan.
Para nabi juga pernah mengecam imam
dan bangsa Israel, karena mereka melihat bahwa praktek ritus kurban persembahan
terdapat keterpecahan antara
bangsa Israel dengan kurban persembahan. Kurban adalah kudus dan tak bercela, sementara
sikap dan perilaku moral Israel sebagai bangsa tidak sesuai dengan kurban
persembahan. Tidak ada integritas antara kurban dengan sikap bangas Isreal; para pemimpin tidak menegakkan keadilan, mereka merampas
hak orang miskin dan janda. Singkatnya sikap dan perilaku pemimpin dan bangsa Israel menyimpang dari
hukum-hukum YHWH.
Dalam
Pernjanjian Lama, sering sikap Allah
digambarkan secara manusiawi, misalnya menolak persembahan, tidak
menyukai, cemburu dan lain sebagainya. Maksudnya manusia menjaga ketulusan dan kesesuaian antara sisi
lahiriah dan batiniah. Artinya
persembahan lahiriah (kurban bakaran, hal-hal material) tidak dapat mengganti sikap batin manusia yang congkak. Persembahana tidak boleh dianggap atau dipakai untuk menghapus sikap manusia yang jahat. Umat beriman tidak cukup rajin beribadat atau rajin
berdoa,
mereka harus memiliki karakter dan tindakan sesuai dengan nilai-nilai kekristenan. Dengan kata lain
beribadat, devosi pribadi yang saleh harus tampak dalam sikap hidup yang baik dan tindakan yang benar; terpuji, bersaudara, solider,
rendah hati, pemaaf dan lain sebagainya.
Persembahan manusia adalah simbol dirinya di hadapan Allah. Namun persembahan tidak dapat menggantikan
sikap moral manusia atau menghapus dosa-dosanya. Menghaturkan
persembahan merupakan panggilan setiap
umat beriman untuk hidup dan bertindak sesuai dengan sifat persembahan
itu; kudus dan tak bercela di hadapan Allah. Umat beriman harus menyesuaikan sikapnya dengan status kurban.
Menyesuaikan sikap dengan sifat kurban adalah hal yang mendasar dalam merayakan
Ekaristi. Hal itu merupakan
hakikat panggilan orang
beriman. Setiap umat mesti menyesuaikan diri
dengan sifat kurban sejati yang telah mempesembahkan diri di salib. Inilah
mesti disadari dan dihayati oleh umat beriman.
Kurban
persembahan tentulah tidak sama dengan praktek agama tradisonal. Dalam praktek agama tradisional atau magis pusat perhatian adalah manusia. Dengan kurban dan sajian manusia
dapat mempengaruhi sikap yang ilahi.
Bahkan manusia dapat mengatur dan memaksa ilah-ilah untuk menlaksanakan
kehendak manusia. Artinya
manusia adalah
pusat komando. Jadi dalam praktek
itu, manusia menempati posisi ilah-ilah, sedangkan ilah-ilah
berfungsi sebagai suruhan.
Dalam kurban
Ekaristi Allah
berdaulat dan absolut. Keputusan-Nya tidak tergantung dari materi kurban persembahan; Dia bebas menerima atau menolak,
kurban persembahan tidak mengubah
pendirian atau ketetapan Allah. Jadi ketika imam memohon agar Allah menerima persembahan, di
sana tidak ada nada paksaan. Permohonan ini merupakan prokalamasi solem, pengakuan agung dan sikap takzim manusia di hadapan Allah. Dalam kemahakuasan-Nya yang absolut, Allah bebas menerima atau menolak persembahan manusia. Sebaliknya manusia
tergantung pada belas kasih-Nya. Maka umat beriman mesti mempersembahkan seluruh hidupnya
kepada kemahakuasaan dan
belas kasih Allah.
No comments:
Post a Comment