--> Imam untuk Ekaristi | LITURGI GEREJA

Thursday, June 30, 2022

Imam untuk Ekaristi

| Thursday, June 30, 2022

Bertepatan dengan “Tahun Ekaristi Internasional” KWI atas nama Gereja Katolik

Indonesia mengumumkan secara resmi bahwa pada Hari Raya Tubuh dan Darah

Kristus, 29 Mei 2005, mulai dipakai Tata Perayaan Ekaristi (TPE) baru. Teks itu telah

mendapat approbatio dari para Uskup Indonesia dalam sidang KWI bulan November 2003

dan telah memperoleh recognitio dari Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen pada

bulan Oktober 2004.



TPE 2005 ini merupakan hasil pemugaran dari buku TPE 1978/79

yang telah mendapat approbatio dari para Uskup Indonesia pada bulan November 1978

dan dipakai ad experimentum (sebagai percobaan). Yang menjadi acuan pembaruan TPE

2005 ini adalah Ordo Missae yang terdapat dalam Missale Romanum edisi ke-3 tahun 2002.

Proses panjang menuju TPE 2005 ini memperlihatkan pentingnya teks yang tepat dan

benar dalam liturgi, demi menjamin keutuhan iman. Tetapi apa artinya sebuah teks tanpa

memperhatikan konteks? Jelas teks harus mengindahkan konteksnya karena teks itu

dibentuk dan dipengaruhi oleh konteks tertentu. Bila teks 

terlepas dari konteks maka teks itu bisa disalahpahami atau

tidak dimengerti sama sekali. Bahkan kalau teks jauh dari

konteks maka teks itu menjadi asing. Dan perayaan dengan

teks seperti itu lebih bersifat ritual tanpa kaitan dengan hidup

nyata. Sebaliknya, bila konteks diutamakan tanpa

mengindahkan teks, maka konteks kehilangan dasar dan arah,

jadi ngawur tak karuan. Konteks sungguh bermakna bila

bersama teks. Memang namanya “con-text”.

Teks sebagai rumusan baku dan resmi dapat menjadi lex,

peraturan atau hukum. Kita kenal adagium: lex orandi, lex

credendi, lex vivendi. Peraturan tentang liturgi dengan rumusanrumusan

baku haruslah sesuai dengan keyakinan iman yang

benar dan menjadi pedoman atau peraturan yang turut

membentuk langkah-langkah hidup harian kita. Kini kita

hidup dalam lingkungan Indonesia di mana “hukum atau

peraturan sangat dilecehkan”. Dengan kata lain kita hidup dan

berkarya dalam lingkungan hukum rimba yang dipenuhi

KKN, kerusakan lingkungan dan kekerasan. Dengan

sendirinya kita amat dipengaruhi oleh lingkungan ini. Tetapi

apakah kita juga berani mempengaruhi konteks ini

berdasarkan semangat hidup Ekaristi? Nota Pastoral 2004

memberi dorongan untuk berjuang membentuk keadaban

baru sebagai budaya tandingan melawan budaya korup, keras,

merusak. Itulah budaya hidup jujur-adil, lembut-sabar-tekun

dengan semangat melestarikan lingkungan sekitar. Ibadat atau

liturgi dalam arti luas, khususnya Ekaristi dan Ibadat Sabda

Hari Minggu tanpa imam mempunyai peran dalam upaya membentuk keadaban baru itu. 

Inilah momentum yang tepat buat kita semua untuk mengikuti pembaruan tidak hanya

pada teks (TPE) tetapi terutama pada semangat hidup dan kesaksian nyata. Pembaruan

teks adalah kesempatan penuh rahmat untuk memperbarui pemahaman Ekaristi dan

memperdalam penghayatan hidup serta menyegarkan semangat bersyukur dan

berkurban sebagai sikap dasar yang ekaristis. Perlu menghayati dalam liturgi maupun

hidup, hubungan atau komunikasi yang baik dengan Tuhan dan sesama sebagaimana

kita rayakan dalam Ekaristi. Kepergian almahrum Paus Yohanes Paulus II dan

terpilihnya Paus baru Benediktus XVI mengingatkan kita akan tugas dan

tanggungjawab masing-masing dalam membarui diri serta lingkungan baik Gereja

maupun dunia agar semakin ekaristis.


SELENGKAPNYA DAPAT DIBACA DI SINI

Related Posts

No comments:

Post a Comment