Bertepatan dengan “Tahun Ekaristi Internasional” KWI atas nama Gereja Katolik
Indonesia mengumumkan secara resmi bahwa pada Hari Raya Tubuh dan Darah
Kristus, 29 Mei 2005, mulai dipakai Tata Perayaan Ekaristi (TPE) baru. Teks itu telah
mendapat approbatio dari para Uskup Indonesia dalam sidang KWI bulan November 2003
dan telah memperoleh recognitio dari Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen pada
bulan Oktober 2004.
yang telah mendapat approbatio dari para Uskup Indonesia pada bulan November 1978
dan dipakai ad experimentum (sebagai percobaan). Yang menjadi acuan pembaruan TPE
2005 ini adalah Ordo Missae yang terdapat dalam Missale Romanum edisi ke-3 tahun 2002.
Proses panjang menuju TPE 2005 ini memperlihatkan pentingnya teks yang tepat dan
benar dalam liturgi, demi menjamin keutuhan iman. Tetapi apa artinya sebuah teks tanpa
memperhatikan konteks? Jelas teks harus mengindahkan konteksnya karena teks itu
dibentuk dan dipengaruhi oleh konteks tertentu. Bila teks
terlepas dari konteks maka teks itu bisa disalahpahami atau
tidak dimengerti sama sekali. Bahkan kalau teks jauh dari
konteks maka teks itu menjadi asing. Dan perayaan dengan
teks seperti itu lebih bersifat ritual tanpa kaitan dengan hidup
nyata. Sebaliknya, bila konteks diutamakan tanpa
mengindahkan teks, maka konteks kehilangan dasar dan arah,
jadi ngawur tak karuan. Konteks sungguh bermakna bila
bersama teks. Memang namanya “con-text”.
Teks sebagai rumusan baku dan resmi dapat menjadi lex,
peraturan atau hukum. Kita kenal adagium: lex orandi, lex
credendi, lex vivendi. Peraturan tentang liturgi dengan rumusanrumusan
baku haruslah sesuai dengan keyakinan iman yang
benar dan menjadi pedoman atau peraturan yang turut
membentuk langkah-langkah hidup harian kita. Kini kita
hidup dalam lingkungan Indonesia di mana “hukum atau
peraturan sangat dilecehkan”. Dengan kata lain kita hidup dan
berkarya dalam lingkungan hukum rimba yang dipenuhi
KKN, kerusakan lingkungan dan kekerasan. Dengan
sendirinya kita amat dipengaruhi oleh lingkungan ini. Tetapi
apakah kita juga berani mempengaruhi konteks ini
berdasarkan semangat hidup Ekaristi? Nota Pastoral 2004
memberi dorongan untuk berjuang membentuk keadaban
baru sebagai budaya tandingan melawan budaya korup, keras,
merusak. Itulah budaya hidup jujur-adil, lembut-sabar-tekun
dengan semangat melestarikan lingkungan sekitar. Ibadat atau
liturgi dalam arti luas, khususnya Ekaristi dan Ibadat Sabda
Hari Minggu tanpa imam mempunyai peran dalam upaya membentuk keadaban baru itu.
Inilah momentum yang tepat buat kita semua untuk mengikuti pembaruan tidak hanya
pada teks (TPE) tetapi terutama pada semangat hidup dan kesaksian nyata. Pembaruan
teks adalah kesempatan penuh rahmat untuk memperbarui pemahaman Ekaristi dan
memperdalam penghayatan hidup serta menyegarkan semangat bersyukur dan
berkurban sebagai sikap dasar yang ekaristis. Perlu menghayati dalam liturgi maupun
hidup, hubungan atau komunikasi yang baik dengan Tuhan dan sesama sebagaimana
kita rayakan dalam Ekaristi. Kepergian almahrum Paus Yohanes Paulus II dan
terpilihnya Paus baru Benediktus XVI mengingatkan kita akan tugas dan
tanggungjawab masing-masing dalam membarui diri serta lingkungan baik Gereja
maupun dunia agar semakin ekaristis.
No comments:
Post a Comment